Category Archives: Lingkup Desa

Kerajinan Besek

Desa Kalipucang kulon ini sudah terkenal sejak dulu sebagai penghasil besek, yaitu wadah tradisional dari anyaman bambu untuk keperluan rumah tangga utamanya wadah untuk pelengkap upacara mengirim doa bagi arwah leluhur (red.selamatan).

Apa sebenarnya keistimewaan wadah yang terbuat dari anyaman bambu di daerah ini? Orang pun tahu bahwa besek berupa anyaman bambu kini terancam punah karena tergeser oleh wadah dari plastik yang terlihat lebih praktis, awet dan harganya pun murah. Namun dalam pergeseran jaman yang modern ini keberadaan besek tetap ada dan tidak akan punah sekalipun alat rumah tangga berupa plastik sebagai wadah sudah masuk pedesaan.

Dengan masuknya kebutuhan industri rumah tangga semisal wadah plastik tadi, para perajin besek di desa kalipucang kulon ini menyikapi dengan tetap semangat terus membuat besek bila ada pesanan saja.

Dengan membuat besek berarti kelangsungan usaha tetap berjalan. Umumnya pesanan besek kecil tetap ada sedang besek ukuran besar biasa dipesan buat selamatan atau di jual sendiri ke pasar misal : pasar Bengok Teluk wetan, pasar Guwo Welahan dsb dan kemudian dipasarkan lagi ke Kudus, Pati dsb.

Besek wadah tradisional dari bambu tetap aman untuk pembungkus makanan  dan tidak menimbulkan bahaya jika dibuang ke tempat sampah. Berbeda dengan pembungkus plastik atau styrofoam jika dibakar akan menimbulkan bau tidak sedap karena material ini mengandung unsur kimia.

Desa Industri Batu Bata

Kalipucang kulon merupakan  sebuah desa di Kecamatan Welahan Kabupaten Jepara.  Kalipucang Kulon memiliki luas wilayah yang hampir luas area persawahan . Tetapi dengan kepadatan penduduk yang lebih rendah.  Jumlah penduduk saat ini sekitar 980 jiwa.

Yang menarik dari desa ini adalah merupakan salah satu sentra industri batu bata di Jepara bahkan jawa tengah.  Hampir 90% lebih penduduk di Kalipucang  Kulon memiliki usaha pembuatan batu bata. Ada yang menjadikannya sebagai mata pencaharian utama. Ada juga yang merupakan usaha sampingan.

Semakin jarang orang yang pergi ke sawah atau ladang. Lebih baik mereka membuat batu bata di rumah.  Pada waktu senggang juga jarang terlihat orang nongkrong atau cangkruk-an di Kalipucang Kulon.  Lebih baik mereka gunakan waktu senggang itu untuk menjadi buruh pembuat batu bata dengan bayaran yang lumayan besar sekitar Rp 30rb untuk pembuatan 1000 batu bata dalam waktu ± 3 jam.

Pendataan tahun 2010 menunjukkan bahwa ada setidaknya 200 lebih industri pembuatan batu bata di sana. Jadi hampir setiap rumah terdapat tumpukan batu bata di halaman rumahnya. Setiap rumah setidaknya memiliki 1 buah industri pembuatan batu bata dengan melibatkan anggota keluarganya dalam proses produksi. Bahkan ada juga yang mendatangkan tenaga kerja dari luar Kalipucang Kulon untuk membantu proses produksi batu bata.

Jika 1 orang dalam 1 rumah produksi mampu menghasilkan 1000 buah batu bata dalam waktu ± 3 jam.  Berapa ribu yang mampu dihasilkan rumah tersebut dalam 1 hari. Dikalikan jumlah rumah produksi di Kalipucang Kulon. Berapa produksi batu bata dalam 1 hari dan 1 bulan. Dengan harga jual Rp 400rb per 1000 buah batu bata. Tentunya sangat besar sekali omset yang dihasilkan hanya dari produksi batu bata di Kalipucang Kulon ini.

Dampak positifnya adalah bertambahnya kesejahteraan masyarakat di Kalipucang Kulon melalui usaha ini. Yang menjadikannya sebagai usaha primer dapat melakukan produksi dengan waktu yang dimiliki semaksimal mungkin. Tentunya dengan keuntungan penjualan yang tinggi pula. Yang dijadikan sebagai usaha sampingan juga memperoleh tambahan penghasilan yang tidak sedikit.

Dampak negatifnya adalah semakin berkurangnya tanah yang digunakan sebagai bahan baku utama untuk batu bata ini. Warga banyak mengambil tanah dengan jumlah yang sangat besar dan dalam jangka waktu yang sangat lama. Sehingga banyak terbentuk lubang-lubang besar bekas galian tanah. Ini yang menjadikan tanah menjadi tidak produktif lagi dan dapat merusak lingkungan.

Lambat laun banyak warga mengimpor bahan baku dari luar Kalipucang Kulon. Mereka tidak lagi mengambil tanah dari lahan mereka sendiri. Tentunya dengan membeli tanah tersebut per mobil seharga antara Rp 200rb –Rp 300rb.

Yang menjadi kendala dalam industri ini adalah harga jual yang tidak standar. Kadang naik dan lebih benyak turunnya. Selain itu juga tidak adanya bantuan permodalan yang mencukupi untuk pengadaan bahan baku tanah dan bubuk gilingan padi sebagai bahan bakarnya. Selain itu faktor cuaca juga ikut menentukan. Pada saat musim penghujan, proses produksi menjadi lambat karena produsen mengandalkan panas sinar matahari untuk proses penjemuran sebelum proses pembakaran.

Mungkin untuk masalah harga dan modal bisa diatasi dengan adanya Koperasi bersama antar produsen batu bata ini dapat dijadikan sebagai penampung untuk proses penjualan agar harga jual bisa standar dan meningkatkan keuntungan bersama. Sehingga sebagian laba tersebut juga bisa digunakan untuk membantu permodalan produsen lainnya. (as)